PMII, NU dan Desa

Catatan Refleksi Hari Lahir ke-57 PMII - durspasi
PERGERAKAN Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) telah banyak menorehkan catatan sejarah di Bangsa ini, sejak tahun 1960 hingga kisaran tahun 1999 konsisten dalam mengawal kebijakan negara yang tidak memihak terhadap rakyat, terbukti dengan pemikiran kader-kader PMII yang progresif seperti lahirnya paradigma arus balik masyarakat pinggiran yang kemudian berkembang menjadi Paradigma Kritis Transformatif (PKT).

Fenomena tersebut memang lumrah terjadi dalam dinamika gerakan di PMII. Namun, ada beberapa hal yang perlu dibahas, terutama hal-hal yang menyangkut gerakan mahasiswa pada umumnya, dan gerakan PMII pasca reformasi pada khususnya.

Perjalanan dua windu lebih reformasi, PMII mengalami sebuah kagamangan dalam melakukan agenda-agenda gerakan. Melihat usianya yang sudah 57, PMII memiliki sejarah pertumbuhan yang panjang dan beban-beban sejarah pun dipikulnya. Pasca reformasi bergulir, organisasi mahasiswa – termasuk PMII, seakan mengalami kebuntuan melakukan kerja-kerja gerakan. Alasan mendasar yang dimunculkan adalah tidak adanya musuh bersama laiknya otoriterianisme di era Orde Baru (Orba).

Ada sekian perubahan dari generasi ke generasi. Ironisnya, perubahan yang terjadi semakin membuat PMII seakan kehilangan trah sebagai sentrum gerakan. Kapasitas keilmuan kian hilang, skill semakin tercukil. Padahal, hari ini pertarungan dunia nyata menuntut kader-kader PMII memilki keahlian. Selain itu, ada satu permasalahan pada proses kaderisasi yang ada di PMII masih memakai sistem kaderisasi ala Orde Baru (Orba), kajian-kajian yang dilakukan masih mempertahankan kajian teori-teori kritis yang sudah usang.

Anehnya, terkadang kader PMII tidak memahami secara detail ideologi PMII itu sendiri, sehingga berdampak pada cara berfikir kader yang masih terjajah oleh perspektif-perspektif mahasiswa di masa Orba, kader PMII kian terjebak pada romantisme gerakan.

Permasalahan ini menjadi pekerjaan rumah untuk merumuskan kembali arah gerakan tanpa menghilangkan nilai-nilai yang menjadi pijakan bagi PMII. Selama ini, PMII terjebak pada arus romantisme sejarah. Sehingga tindakan-tindakannya – meski berdasar pada teori-teori kritis, kerap salah sasaran. Gerakan-gerakannya terdengar lantang namun minim perubahan.

PMII perlu melakukan bagaiamana kehadirannya mampu memberikan kontribusi nyata dalam simpul-simpul perubahan. Mencari ruang-ruang yang bisa diambil sebagai arena melakukan sebuah perubahan. Jika tidak, PMII akan menjadi organisasi mahasiswa yang kehilangan peran meski besar secara keanggotaan.

Kembali ke Basis
Membicarakan PMII tanpa menyinggung Nahdlatul Ulama (NU) adalah cara gegabah. Terlepas dari independensi atau interdepedensi yang dipilih, diakui atau tidak, PMII lahir dan tumbuh besar seiring besarnya NU di Indonesia.

Karenanya, PMII merupakan salah satu organisasi mahasiswa Islam yang produk gagasannya sejalan dengan NU. Keislaman yang dilahirkan PMII tak ubahnya keislmalan yang disyiarkan oleh NU. Baik PMII maupun NU, Islam yang dibawa adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menghargai perbedaan dan Islam yang memberi rahmat bagi seluruh alam.

Bagi PMII, menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah harga mati. Tak diragukan lagi, seperti halnya NU, PMII sudah final dengan Pancasila. Bersama NU, PMII menyadari betul bahwa Indonesia bukan didirikan sebagai negara agama tapi negara yang berdiri atas agama-agama. Pada titik ini, peran PMII dan NU sudah tidak diragukan dalam menyuarakan wawasan kebangsaan.

Tetapi, bagaimana mengejawantahkan gagasan-gagasan tersebut, PMII dan NU kerap bersebrangan. Sehingga agenda perjuangan tidak berjalan sebagaimana yang diinginkan. PMII seakan menjadi organisasi mahasiswa yang gemar bersuara lantang namun minim perubahan. Gagasan-gagasan segar yang ada belum mampu melahirkan sebuah perubahan berarti untuk menuju Indonesia sejahtera.

Pada titik ini, NU yang sebagian besar anggotanya ada di desa-desa menjadi ruang yang tepat bagi PMII untuk mengaktualisasikan gagasannya. Laiknya NU, kader-kader PMII juga berasal dari desa-desa. Nah, kesamaan ini harus menjadi modal sosial dalam melakukan agenda gerakan untuk mewujudkan perubahan.

Jika dilihat dari jenjang struktur, PMII memiliki model kaderisasi yang massif. Hingga saat ini, PMII tercatat sudah memiliki 422 Komisariat dan 230 Cabang yang tersebar pada seluruh Kabupaten/Kota di  Indonesia. Belum lagi, Koordinator Cabang sebagai penanggung jawab di tingkatan provinsi dan Rayon sebagai struktur terbawah yang berada di fakultas-fakultas yang ada di seluruh kampus. Dan, semuanya berada dalam koordinasi Pengurus Besar (PB).

Tidak hanya pada tataran mahasiswa, alumni-alumni PMII juga menyebar di berbagai Kabupaten/Kota dengan wadah Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKA-PMII). Artinya, secara struktur, PMII adalah organisasi yang sama dengan NU. Dengan demikian, ada puluhan ribu kader baru dalam setiap tahunnya yang direkrut PMII.

Oleh karenanya, kekayaan sosial yang besar tersebut harus menjadi modal utama dalam melakukan kerja-kerja gerakan. Caranya sederhana, PMII harus melakukan Pelatihan Kader Dasar (PKD) di desa-desa. Selanjutnya, PMII terus menjaga komunikasi dan menjadikan desa tersebut sebagai desa mitranya. Bisa dipastikan, setiap tahun PMII akan memiliki sebanyak 422 desa mitra sesuai jumlah Komisariat sebagai pemegang amanah menjalankan PKD.

Bersamaan dengan hari lahir ke-57 PMII kali ini (17 April 2017), penting bagi PMII melakukan refleksi untuk merumuskan arah gerakan baru yang sesuai dengan kebutuan zaman. Melibatkan diri dalam pembangunan desa adalah langkah kongkrit bagi PMII. Sebagaimana tujuan awal didirkan, PMII menjadi jembatan komunikasi sosial masyarakat dalam mengawal perubahan.

Terlebih, pada bulan Mei mendatang, PMII akan menggelar kongres di Palu. Ini menjadi momen yang tepat, PMII melakukan evalusi dan merumuskan kembali arah gerakannya. Salah satunya terlibat dalam pembangunan masyarakat desa bersama NU demi terwujudnya kesejahteraan Indonesia. []

No comments:

Powered by Blogger.