PMII, NU dan Desa
![]() |
Catatan Refleksi Hari Lahir ke-57 PMII - durspasi |
Fenomena
tersebut memang lumrah terjadi dalam dinamika gerakan di PMII. Namun, ada
beberapa hal yang perlu dibahas, terutama hal-hal yang menyangkut gerakan
mahasiswa pada umumnya, dan gerakan PMII pasca reformasi pada khususnya.
Perjalanan
dua windu lebih reformasi, PMII mengalami sebuah kagamangan dalam melakukan
agenda-agenda gerakan. Melihat usianya yang sudah 57, PMII memiliki sejarah
pertumbuhan yang panjang dan beban-beban sejarah pun dipikulnya. Pasca
reformasi bergulir, organisasi mahasiswa – termasuk PMII, seakan mengalami kebuntuan
melakukan kerja-kerja gerakan. Alasan mendasar yang dimunculkan adalah tidak
adanya musuh bersama laiknya otoriterianisme di era Orde Baru (Orba).
Ada
sekian perubahan dari generasi ke generasi. Ironisnya, perubahan yang terjadi
semakin membuat PMII seakan kehilangan trah sebagai sentrum gerakan. Kapasitas
keilmuan kian hilang, skill semakin tercukil. Padahal, hari ini pertarungan
dunia nyata menuntut kader-kader PMII memilki keahlian. Selain itu, ada satu permasalahan
pada proses kaderisasi yang ada di PMII masih memakai sistem kaderisasi ala Orde Baru (Orba), kajian-kajian yang
dilakukan masih mempertahankan kajian teori-teori kritis yang sudah usang.
Anehnya,
terkadang kader PMII tidak memahami secara detail ideologi PMII itu sendiri,
sehingga berdampak pada cara berfikir kader yang masih terjajah oleh
perspektif-perspektif mahasiswa di masa Orba, kader PMII kian terjebak pada
romantisme gerakan.
Permasalahan
ini menjadi pekerjaan rumah untuk merumuskan kembali arah gerakan tanpa
menghilangkan nilai-nilai yang menjadi pijakan bagi PMII. Selama ini, PMII
terjebak pada arus romantisme sejarah. Sehingga tindakan-tindakannya – meski
berdasar pada teori-teori kritis, kerap salah sasaran. Gerakan-gerakannya
terdengar lantang namun minim perubahan.
PMII
perlu melakukan bagaiamana kehadirannya mampu memberikan kontribusi nyata dalam
simpul-simpul perubahan. Mencari ruang-ruang yang bisa diambil sebagai arena
melakukan sebuah perubahan. Jika tidak, PMII akan menjadi organisasi mahasiswa
yang kehilangan peran meski besar secara keanggotaan.
Kembali ke Basis
Membicarakan
PMII tanpa menyinggung Nahdlatul Ulama (NU) adalah cara gegabah. Terlepas dari
independensi atau interdepedensi yang dipilih, diakui atau tidak, PMII lahir
dan tumbuh besar seiring besarnya NU di Indonesia.
Karenanya,
PMII merupakan salah satu organisasi mahasiswa Islam yang produk gagasannya
sejalan dengan NU. Keislaman yang dilahirkan PMII tak ubahnya keislmalan yang
disyiarkan oleh NU. Baik PMII maupun NU, Islam yang dibawa adalah agama yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menghargai perbedaan dan Islam yang
memberi rahmat bagi seluruh alam.
Bagi
PMII, menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah harga
mati. Tak diragukan lagi, seperti halnya NU, PMII sudah final dengan Pancasila.
Bersama NU, PMII menyadari betul bahwa Indonesia bukan didirikan sebagai negara
agama tapi negara yang berdiri atas agama-agama. Pada titik ini, peran PMII dan
NU sudah tidak diragukan dalam menyuarakan wawasan kebangsaan.
Tetapi,
bagaimana mengejawantahkan gagasan-gagasan tersebut, PMII dan NU kerap
bersebrangan. Sehingga agenda perjuangan tidak berjalan sebagaimana yang diinginkan.
PMII seakan menjadi organisasi mahasiswa yang gemar bersuara lantang namun
minim perubahan. Gagasan-gagasan segar yang ada belum mampu melahirkan sebuah
perubahan berarti untuk menuju Indonesia sejahtera.
Pada
titik ini, NU yang sebagian besar anggotanya ada di desa-desa menjadi ruang
yang tepat bagi PMII untuk mengaktualisasikan gagasannya. Laiknya NU,
kader-kader PMII juga berasal dari desa-desa. Nah, kesamaan ini harus menjadi
modal sosial dalam melakukan agenda gerakan untuk mewujudkan perubahan.
Jika
dilihat dari jenjang struktur, PMII memiliki model kaderisasi yang massif. Hingga
saat ini, PMII tercatat sudah memiliki 422 Komisariat dan 230 Cabang yang
tersebar pada seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia.
Belum lagi, Koordinator Cabang sebagai penanggung jawab di tingkatan provinsi
dan Rayon sebagai struktur terbawah yang berada di fakultas-fakultas yang ada
di seluruh kampus. Dan, semuanya berada dalam koordinasi Pengurus Besar (PB).
Tidak
hanya pada tataran mahasiswa, alumni-alumni PMII juga menyebar di berbagai
Kabupaten/Kota dengan wadah Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(IKA-PMII). Artinya, secara struktur, PMII adalah organisasi yang sama dengan
NU. Dengan demikian, ada puluhan ribu kader baru dalam setiap tahunnya yang
direkrut PMII.
Oleh
karenanya, kekayaan sosial yang besar tersebut harus menjadi modal utama dalam
melakukan kerja-kerja gerakan. Caranya sederhana, PMII harus melakukan
Pelatihan Kader Dasar (PKD) di desa-desa. Selanjutnya, PMII terus menjaga
komunikasi dan menjadikan desa tersebut sebagai desa mitranya. Bisa dipastikan,
setiap tahun PMII akan memiliki sebanyak 422 desa mitra sesuai jumlah
Komisariat sebagai pemegang amanah menjalankan PKD.
Bersamaan
dengan hari lahir ke-57 PMII kali ini (17 April 2017), penting bagi PMII
melakukan refleksi untuk merumuskan arah gerakan baru yang sesuai dengan
kebutuan zaman. Melibatkan diri dalam pembangunan desa adalah langkah kongkrit
bagi PMII. Sebagaimana tujuan awal didirkan, PMII menjadi jembatan komunikasi
sosial masyarakat dalam mengawal perubahan.
No comments:
Post a Comment