Dalam Kemaritiman, Kesejahteraan Nelayan Bukanlah Omong Kosong
![]() |
durspasi |
PADA
awal 2015, bertepatan dengan dramaturgi KPK dan Polri – atau media menyebutnya
pertarungan buaya dan cicak, saya menuliskan sebuat catatan pendek di blog ini;
Memahami Pemberitaan Negeri Cendikiawan.
Dalam catatan tersebut, saya menyinggung tentang agenda
poros maritim pemerintahan Jokowi. Saya menilai, bahwa Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) bukan salah satu tolok ukur keberhasilan Indonesia dianggap sudah mengembalikan
kekuatan maritimnya. Artinya, ada jamak persoalan yang musti diselesaikan
terlebih dahulu.
Apalagi, saat itu (dan, mungkin sampai kini), banyaknya
kapal-kapal pencuri ikan yang dibumihanguskan menyita perhatian publik. Tanpa belas kasihan kapal-kapal tak
berizin itu ditenggelamkan. Ya, ketegasan semacam itu memang harus didukung
keberlangsungannya.
Di balik semua itu, pemberitaan soal KKP semakin
gencar. Nama menteri Susi Pudjiastuti membumbung tinggi, ia menjelma pahlawan di tengah
eksploitasi laut yang berlebihan. Sekilas mulai tampak, amnesia kelautan yang
menginggap kita mulai beranjak.
Sebelumnya, saya ingin sampaikan terlebih dahulu kalau
catatan ini sengaja ditulis sebagai tanggapan atas komentar-komentar pada tulisan saya di
MOEDA Institute, Cantrang dan Kesejahteraan Nelayan. Ya, tulisan tersebut dikomentari semata-mata saya
dianggap membela apa yang telah dilakukan Cak Imin. Saya tak menampiknya, benar
memang, dalam tulisan tersebut saya lebih sepakat dengan logika Cak Imin
daripada logika yang digunakan Ibu Susi.
Tentu saja saya tidak berangkat dari alasan kosong,
sedikit banyak, saya pernah terlibat dalam diskusi perumusan Pemuda Maritim
bersama sahabat-sahabat MOEDA Institute. Dari diskusi panjang di MOEDA
Institute itu, beberapa gagasan muncul dalam rangka bagaimana pemuda ikut
terlibat menentukan Indonesia mengembalikan kejayaannya sebagai negara maritim.
Dan, semua hasil itu masih bisa dibaca di laman web MOEDA Instutite.
Setidaknya ada sebelas tulisan yang dihasilkan
sahabat-sahabat MOEDA Institute dari diskusi rutinnnya, di antaranya; (1)
Mewujudkan NKRI Menjadi Poros Maritim Indonesia, (2) Kilas Balik Maritim Nusantara, (3) MOEDA Institute dan Maritim Indonesia, (4) Alor, Segudang Potensi Maritim yang Belum Tersentuh, (5) Maratua, Cincin Maritim Nusantara,
(6) Menegaskan Morowali Sebagai Poros Maritim Indonesia, (7) Simeulue, Keragaman Hayati di Serambi Mekah, (8) Anugerah Bahari di Kota Kendari, (9)
Menjaga Kedaulatan Enggano Sebagai Jalur Perdagangan Internasional, (10)
Sumenep, Poros Maritim Jawa Timur, dan (11) Banyuwangi, Surga Bahari yang Terlupakan.
Dari semua hasil tersebut, hampir bisa dipastikan,
kendala mendasarnya adalah bagaimana nelayan tidak mendapat impact signifikan dari kekayaan laut
yang selama ini digembar-gemborkan. Justru taraf kehidupan warga pesisir tak
kunjung sejahtera.
Baik, kembali ke pembahasan awal, tentang catatan ini,
tentang perdebatan kekayaan laut dan kesejahteraan nelayan.
Ya, jika kita telaah secara seksama, logika yang dilontarkan
menteri Susi memang bermuara bagaimana kekayaan laut tetap terjaga. Sangat
sedikit memang – jika untuk mengatakan ‘tidak ada’ terkesan simplikatif dan
arogan, logikanya yang berdasar bagaimana nasib nelayan Indonesia ke depan. Hampir
bisa dipastikan, setiap aturannya sering bersembunyi di balik kekayaan laut
yang diamankan.
Pertanyaan mendasar, memangnya kekayaan laut Indonesia
yang kaya itu untuk siapa? Bukankah kekakayaan alam Indonesia – termasuk kekayaan
laut, milik kita dan untuk dinimkati kita juga? Lantas, bagaimana kekayaan itu
bisa dinikmati jika nelayan kita sudah tidak bisa melaut lagi.
Dari sini penting adanya dialog, diakui atau tidak,
nelayan adalah komponen penting dalam upaya mengembalikan kejayaan Indonesia
melalui kemaritimannya. Dan, Gus Dur - tokoh yang telah mengingatkan kita
tentang amnesia kelautan panjang – sudah banyak menceritakan bagaimana menggerakkan
komponen-komponen dalam menjadikan laut sebagai matra politik Indonesia.
Artinya, kekayaan laut yang dijaga mati-matian itu
harus menjadi nilai penting dalam mengangkat martabat kehidupan masyarakat –
khususnya nelayan kita. Saya rasa cukup catatan kali ini. Anda bisa cek sendiri
bagaimana maritim kita pernah berjaya dan pelabuhan kita menjadi arus perdagangan nomor satu di dunia.
Ya, banyak literatur yang bisa Anda jumpai dan pelajari.
Terakhir, Anda boleh tidak sepakat dengan apa yang
sudah saya tulis terkait perdebatan Cak Imin dan Ibu Susi soal pelarangan
cantrang (baca; Cantrang dan Kesejahteraan Nelayan). Tak persolaan, berbeda pendapat itu menyenangkan. Tapi, siapapun
Anda, kalau hanya berkomentar nyinyir – menganggap saya sepihak membela Cak
Imin, jelas saya tidak suka. Setuju atau tidak, mari sampaikan dengan cara yang
baik. Itu saja.
Dulu, nenek moyangmu seorang pelaut. Sekarang, anak
cucumu dilarang melaut. []
No comments:
Post a Comment