Perempuan, Jilbab dan Keimanan

durspasi
SAYA masih memercayai bahwa penampilan tak melulu berbanding lurus dengan keimanan. Kadar keimanan seseorang tak bisa dinilai dari seperangkat baju yang dikenakan.

Kehadiran Zakir Naik di Indonesia membuat publik heboh. Bagaimana tidak, orang yang terkenal pintar itu acap kali menghadirkan petuah itu dianggap mampu membuka hati orang-orang yang tengah gundah. Kabar yang beredar, singkatnya, dari pidato Zakir Naik, banyak orang terinspirasi untuk masuk Islam. Entah semua itu kebenaran atau hanya desain semata demi kepentingan yang dibawanya.

Di Indonesia, Zakir Naik juga melakukan hal yang sama. Perempuan non-muslim tiba-tiba memilih agama Islam. Di forum, perempuan itu dengan cekatan langsung mengenakan jilbab sebagai bukti bahwa ia telah memilih Islam sebagai agamanya.

Baik, dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas bagaimana sepak terjang Zakir Naik. Ya, saya rasa sudah cukup banyak yang menjelaskan tentangnya. Kali ini, saya ingin bercerita tentang apakah benar seperangkat pakaian menjadi tolok ukur keimanan seseorang.

Sebuah Pengalaman
Sekitar tahun 2010-an, saat saya melakukan praktik kerja lapangan di Dieng Plaza, Malang. Salah satu plaza khusus jual beli laptop, komputer dan seperangkat dukungannya, baik software maupun hardware. Selama tiga bulan lebih saya mengamati kejadian sekitar, terkhusus para perempuan-perempuan yang mencari nafkah di toko-toko elektronik tersebut.

Jika bicara bagaimana hiruk-pikuk di Plaza Dieng, hampir 80 persen para perempuan yang bekerja tidak mengenakan kerudung atau jilbab. Rata-rata perempuan di sana membeberkan rambutnya, mengenakan t-shirt dengan bawahan celana jeans dan rok di atas lutut.

Saat itu, saya yang masih menimba ilmu di pesantren terkaget menyaksikannya. Bagaimana tidak, keseharian saya tak pernah menyaksikan pemandangan sevulgar itu. Saya pun sempat berfikir bahwa mereka-mereka (para perempuan itu) adalah sekelompok orang yang imannya masih dipertanyakan. Sederhananya, di Plaza Dieng, aurat menjadi pemandangan.

Setelah sebulan berlalu, saya mencoba mengamati secara diam-diam segala rutinitas para perempuan selama beraktivitas di Plaza Dieng. Seakan tak percaya, saya dibuat tercengang dengan keseharian yang dijalankannya.

Ya, di balik penampilannya yang vulgar – yang sering kali kita artikan mengundang kemaksiatan karena mengumbar aurat, mereka tak pernah absen untuk menghadap Tuhan kala panggilan salat bergema melalui pelantang.

Tak dinyana, tas kecil yang selalu dibawa itu ternyata berisi seperangkat alat salat (mukena). Dan, parahnya, hal semacam itu tidak saya temukan pada mereka (perempuan-perempuan di Plaza Dieng, tentu tidak semuanya) yang berpenampilan dengan baju lengkap menutupi sekujur tubuhnya - baik itu sebagai pengunjung atau yang bekerja di sana.

Saya tercengang. Ya, saya adalah orang yang percaya bahwa agama mewajibkan perempuan untuk menutupi auratnya.

Saya pun menyadari, tidak semua perempuan yang kita lihat mengumbar aurat - berpakaian serba ketat - adalah keinginannya sendiri. Ya, seperangkat pakaian itu adalah tuntutan yang harus dipenuhi dalam dunia kerjanya.

Ya, di balik penampilannya, mereka semua menjadi tulang punggung keluarga - atau sekadar membantu beban suami dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Demi keberlangsungan keluarga, mereka 'rela/terpaksa' melakukan hal tersebut.

Lantas, apakah semudah itu kita menilai mereka hanya karena pakaian yang menurut agama 'pemahaman kita' tidak sesuai dengan norma.

Saya tak ingin berpendapat banyak soal ini, cukup melihat kenapa mereka melakukan itu, saya rasa kita sudah tahu bagaimana untuk tidak nyinyir pada penampilan orang lain. Apalagi, sampai berani mengatakan bahwa mereka adalah 'perempuan jalang'.

“Duh, betapa gegabahnya saya menilai keimanan seseorang dari cara berpakaiannya semata?” Saya bertanya pada diri sendiri. []

No comments:

Powered by Blogger.