Tentang Idealis yang Egois

durspasi
SAYA tidak hendak menjelaskan idealisme dan egoisme sebagaimana penjelasan para pandit - yang saya sering keblinger memahaminya. Saya hanya akan mencoba mengurai idealisme dan egoisme secara sederhana, sesederhana kita yang kerap terjebak dalam jalur idealis tapi egois.

Begini, sebenarnya tulisan ini berawal dari sebuah percakapan santai pada momen lebaran, sewaktu saya melakukan anjang sana ke sanak saudara.

Saya berasumsi bahwa cita-cita kesejahteraan yang tak kunjung tercapai itu berakar pada egoisme kita dalam segala hal, termasuk dalam melakukan perjuangan.

Ada logika menarik dan saya rasa tidak terlalu ndakik-ndakik. Begini, setiap petani berkeinginan hasil tanamnya laku mahal. Dan, harga kebutuhan pokok yang hendak dibelinya murah. Atau begini, nelayan pasti ingin harga ikan mahal. Tapi, beras dan semacamnya sebagai kebutuhan sehari-harinya murah meriah.

Ya, bagi saya, logika semacam ini sangat manusiawi sekali. Saya, juga Anda semua, pasti ingin diliputi keberuntungan dalam setiap tapak kakinya.

Nah, selain itu, saya juga mengalami persinggungan semacam itu. Bahkan, itu terjadi di kalangan para aktivis, teman-teman yang biasa bertemu di meja kopi.

Setelah sekian tahun berproses, pada akhirnya, saya dan teman-teman memilih jalan tak sama. Alasannya jelas, kami memiliki kecenderungan berbeda.

Saya berpikir, keberagaman proses itu kelak akan menjadi satu letupan besar agenda perubahan. Kami akan bertemu dalam titik dimana kesejahteraan menjadi ruh gerakan.

Sederhananya, tidak penting proses yang ditekuni apa, di mana, bersama siapa, tapi semangat yang dan cita-cita akan mempertemukan kita. Itu pikir saya, waktu itu, saat kami harus memilih ruang proses yang berbeda.

Faktanya apa? Tidak demikian! Impian yang saya bayangkan itu musnah karena kelakar idealisme campur aduk dengan egoisme.

Tiba-tiba setiap perjuangan masing-masing menjadi ruang propaganda bahwa "perjuangan saya paling benar dari siapapun". Bagi saya, ini era para intelektual genit dan konyol. Ingat, ini hanya asumsi saya.

Solidaritas yang terbangun justeru retak karena pilihan proses yang berbeda. Aneh ya, padahal suka bicara keberagaman.

Mari kita ambil beberapa contoh ruang-ruang perjuangan yang idealis tapi egois. Ingat, ini hanya contoh, saya tidak hendak mengeneralisirnya. Dan, sekali lagi, ini subjektif pandangan yang saya alami.

Aktivis Lingkungan
Ini persoalan yang hampir tiap tahun laris kalau diperjualbelikan. Bagaimana lingkungan teratasi kalau kanal lain dipandang sebelah mata.

Semisal, aktivis lingkungan ngotot bahwa perjuangan yang paling mulia adalah mengurusi lingkungan. Alurnya jelas, menjaga ekosistem alam dan keberlangsungan makhluk hidup, tak terkecuali manusia itu sendiri.

Ini perjuangan nyata, yang lain itu nomer sekian. Kalau urusan lingkungan beres, semua masalah bangsa ini juga ikut beres. Luar biasa sekali, memang.

Aktivis Agraria
Gerakan ini sedang naik daun, banyak aktivis pindah rel karena memperjuangkan agraria setara dengan menjaga bumi Indonesia. Bagus, saya rasa tidak berlebihan.

Sayang, banyak aktivis agraria - tentu tidak semuanya - kelewat sok paling mulia perjuangannya. Dan, sering kali menganggap perjuangan-perjuangan orang lain tidak penting. Agraria yang utama, yang lain nomor dua.

Aktivis Hukum
Ini soal hukum, Bung. Semua permasalahan bangsa ini kacau karena hukum belum selesai.

Memperjuangkan hukum berarti merajut benang-benang kusut bangsa yang hampir putus. Perlu pendampingan, penyuluhan, seminar di masyarakat agar semua sadar hukum.

Kenapa harus hukum? Karena yang lain nanti mengikuti. Karenanya, berjuang di ranah hukum itu membanggakan.

Aktivis Politik
Ini medan perjuangan paling sulit. Segamblang apapun dijelaskan, tanggapan sinis pasti dolontarkan. Sudah, ini tak perlu dibahas. Kita semua terlalu simplifikatif dalam memandang politik.

Namun, saya masih meyakini, ini juga arena perjuangan. Kita tidak bisa mengatakan buruk karena hal-hal yang tidak kita ketahui seutuhnya.

Aktivis HAM
Ah, jujur, lama-lama saya jenuh dengan para peneriak HAM. Dikit-dikit HAM, hukum mau tegas ada HAM, bahkan kasus HAM bertentangan HAM. Di era sekarang, aktivis HAM memang membingungkan, terutama bagi saya.

Ya, saya cuma geli saja, tiap tahun nama Munir, semisal, cuma dijadikan alat memuluskan propasal atau meraup penghasilan. Tak satu pun mencoba ke makamnya, berkirim do'a kepada Munir.

Ya, Munir hanya dijadikan pahlawan dalam ruangan seminar, di pamflet-pamflet demonstrasi, dan negosiasi macam-macam. Bung, kasus Munir harus selesai sampai ke akar-akarnya.

Pertanyaaan sedehana lagi, adakah yang mencoba - menghibur, menjenguk secara rutin keluarga Munir. Bagaimana meraka menjalani hidup kesehariannya? Saya rasa, Munir akan bahagia kalau keluarganya lebih diperhatikan oleh para pejuang HAM.

Aktivis Anti-Korupsi
Pekerjaan mulia, melawan korupsi. Saya rasa kalian semua sepakat, termasuk saya.

Tapi, 'kan bajingan, kalau kita yang tak aktiv sebagai pegiat anti-korupsi dianggap tidak peduli pada korupsi.

Indonesia ini luas, Bung. Banyak persoalan yang harus diselesaikan. Kalau klaim saling benar, apa artinya ideologis, sama saja dengan pepesan tahu. Yang diperlukan adalah saling support satu sama lain.

Aktivis Pendidikan

Jujur, ini kadang memang merasa sok benar dan suci. Setiap tapak kakinya adalah ibadah. Begitulah kira-kira. Karena saban hari hanya soal transfer ilmu. Itu loh, di ujung sana ada yang kelaparan, ndan.

Aktivis macam ini sering mengangggap remeh-temeh hal lain. Dalam anggapannya, apa yang dilakukan adalah kerja kebudayaan. Menyiapkan generasi masa depan. Di tangan aktivis pendidikan, Indonesia akan terang menatap masa depan. Luar biasa.

Aktivis Tongkrongan

Nah, kalau ini saya. Kerjanya cuma ngopa-ngopi saja, bercanda sambil berkicau di sosial media. Luar biasa, inilah generasi begundal yang banyak dinyinyirin orang. Santai saja, kawan.

Terkadang, sesekali berpikir, coba kalau para orang-orang yang idealis itu saling bergandeng tangan. Emmm, pasti perubahan selangkah akan digapai.

Tapi, kalau saling merasa benar sendiri, idealis tapi egois. Ya, wasasalam.

Pada akhirnya, saya akan berkicau kembali di sosial media, begitulah kalau mencari pengahasilan bersembunyi di ketiak idealisme. Ya, merasa paling benar, suci dan mulia. Akhirnya, kepentingannya sendiri yang diurus, bukan sosial sekitarnya.

Dan, aktivis tongkrongan macam saya, menyeruput kopi, lalu berkicau kembali. Idealisme akan buta kalau perjuangannya berdiri tegak di atas egoisme. [] 

No comments:

Powered by Blogger.